Saya sudah bukan lagi mahasiswa, pikir saya ya buku ini hanya untuk mahasiswa atau orang-orang yang tak kenal arah hidupnya saja, ternyata setelah dibaca lebih jauh dan memaknai lebih dalam buku fiksi ini, ternyata banyak emosi yang terbentuk di sini. Kehidupan kampus, perjuangan mahasiswa sampai pemecahan masalah yang terus menerus datang.
Kami (Bukan) Sarjana Kertas, untuk seluruh orang yang terlibat dalam dunia Pendidikan
Judul Buku: Kami (Bukan) Sarjana Kertas
Penulis: J.S Khairen
Editor: MB Winata
Penerbit: Bukune Kreatif Cipta
Terbit: April 2019
ISBN: 9786202203049
Tebal: 358 hlm, 14x20cm
“Tiap kita punya musuh besar
Ia hadir lebih menakutkan dari kegelapan.
Menyengat lebih panas dari Aldebaran.
Lebih berbahaya dari Bisa King Cobra yang melumpuhkan.
Lebih dingin daripada kutub Bumi yang membekukan.
Di mana musuh itu berada? Dalam jiwa kita sendiri.
Cara menaklukkannya? Engkau sendiri yang tahu kawan.”
Beginilah kutipan pembukaan yang disajikan dalam buku ini, di setiap akhir episode, Khairen menuliskan pesan yang mendalam, pesan yang mewakilkan perasaan pada setiap episode.
Ada 33 episode ditulis di buku ini, beberapa episode menggambarkan emosi penulis terhadap sikap mahasiswa dan dosen yang sangat relate dengan kehidupan kampus di zaman ini.
Bercerita tentang beberapa pengalaman pasang surutnya perjuangan tujuh mahasiswa bernama Ogi, Ranjau, Arko, Randi, Gala, Sania, dan Juwisa yang dibimbing oleh satu dosen konseling bernama bu Lira yang berkuliah di satu tempat bernama UDEL, Universitas Daulat Eka Laksana. Mahasiswa UDEL adalah mahasiswa ujung tebu, manis tapi hambar. Tidak ada semut yang mau, tidak bisa pula diolah jadi gula. Begitulah nanti mahasiswa UDEL jika lulus. Jdi tebu hambar. Ijazah mereka tidak berguuna.
Awalnya, buku ini mendominasi bercerita kesedihan yang dialami Ogi, namun ketika di tengah-tengah bacaan, banyak kisah perjuangan teman-teman Ogi seperti sebagai penyeimbang perjuangan, bahwa Ogi bukanlah satu-satunya orang yang mengalami kesulitan dalam hidupnya.
Kami (Bukan) Sarjana Kertas: dibuka dengan tulisan yang membuat saya terkejut sekaligus geli. Bab berjudul BOM TIKUS ini menceritakan awal mula kelas konseling bu Lira di kelas UDEL dengan cara simulasi perkenalan pembelajarannya yang tidak biasa dengan mengeluarkan ratusan tikus-tikus di dalam kelas, juga membawa anjingnya.
Pada episode selanjutnya sampai episode ke 8, NILAI KEHIDUPAN, banyak menceritakan kemalangan nasib Ogi, benar benar malang. Dimulai dari nilai Ogi yang terancam DO (Drop Out) dari kampus, harus kehilangan tempat tinggalnya, sampai meninggalnya babe Ogi yang sangat tidak di duga duga. Awalnya saya akan berespektasi kalau Ogi setelah ujian ini akan selesai, setelah ujian ini akan Bahagia, ternyata tidak. Malangnya Ogi tidak berhenti-henti sampai ia memutuskan ingin mati di tangannya sendiri.
Pada episode selanjutnya akhirnya Ogi memutuskan untuk bangkit walaupun dengan hidup yang begitu-begitu saja sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang teman yang membuat hidupnya sangat berubah.
Di episode 15 tentang ADU IDE, konflik kampus yang dilakukan salah satu dosen di kampus UDEL ini terjadi. Dosen ini menjadi sindiran keras pada buku ini, saya rasa Dosen menjengkelkan yang diceritakan Khairen masih ada di negara ini. Ini juga yang menjadi bagian favorit saya dalam pesan yang tersampaikan, karena selaku orang yang menjadi tenaga pendidik untuk mahasiswa harus mampu menjadi dosen yang bukan hanya omong kosong dan sangat tergerus zaman.
Sampai episode yang sangat membuat hati saya terenyuh adalah ketika Sania masuk penjara karena ulahnya sendiri dan temannya Juwisa sempat ilfeel pada Sania begitu mendengar berita ia ditangkap. Namun Juwisa segera ingat kejadian di kelas konseling saat dulu Bu Lira bercerita tentang anjing penjaga impian.
“Jadilah anjing yang setia, anjing yang selalu menyalak untuk impian kalian! Untuk impian teman-teman kalian! Membantu orang menghidupkan mimpinya, akan membantu kita sendiri pula kelak. Seperti anjing, ada saat menyalak, ada saat untuk jinak. Ingat! Setia pada impian!”
Ya, setelah melahap buku ini, banyak pesan yang disampaikan. Rasanya saya ingin sekali menjadi seorang dosen seperti Bu Lira. Sebesar apapun masalah yang akan terjadi, jangan pernah lari. Berceritalah, saling bantu.
Jadi sarjana atau tidak, itu cuma di atas kertas! Banyak sarjana menganggur juga.
Banyak orang yang tak sekolah tinggi tapi sukses. Banyak sarjana begitu kerja ternyata tidak tidak bisa apa-apa. Masuk kantor gagah, pulang-pulang gagap.
Dunia professional menuntut begitu tinggi, tak sampai napas mereka berlari. Banyak sarjana yang tak pandai ilmu hidup, hanya ilmu silabus saja. Sarjana Kertas”.
Dan tentunya kisah mereka yang dilanjut ke buku selanjutnya yang berjudul KAMI (BUKAN) JONGOS BERDASI.
5/5